Eksperimen dan eksplorasi Dartin Yudha
yang tiada pernah terhenti
-
sebuah upaya keras perwujudan jati diri seorang
seniman sejati
oleh: Sulebar
M. Soekarman *)
Barang siapa yang
menyembah Allah dengan kemurnian rasa takut, maka ia akan tenggelam di lautan
pemikiran.
Barang siapa yang
menyembah-Nya dengan kemurnian rasa harapan, maka ia akan tersesat di padang
yang memperdaya.
Barang siapa yang
menyembah-Nya dengan rasa takut dan harap, maka ia akan lurus menempuh jalan
dzikirnya.
CAMBUK HATI, Siyaathul Quluub,
Dr ‘Aidh bin ‘Abdullah Al-Qarni
(Penerbit: Irsyad Baitus
Salam – IBS, 2004, Bandung) hal.94 – 96:
( 1 )
Dartin Yudha telah saya kenal
sekitar tigapuluh tahunan yang lalu sewaktu menjadi mahasiswa Jurusan Seni
Lukis IKJ-LPKJ di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Etos kerjanya yang luar biasa,
terutama kalau sedang membuat sketsa dan melukis, apakah itu bersama-sama
dengan rekan seangkatannya ataukah sendirian, di tempat-tempat dimana pak
Nashar, pak OE (Oesman Effendi), pak Zaini, para pembimbing workshop melukis
menentukan tempat-tempat workshop itu dilaksanakan sesuai jadwal mingguan yang
telah ditentukan, atau di studio lukis ataupun di kamar kos-nya. Mengenal,
mengamati dan menghayati lingkungan di sekitar kita ataupun yang ada di dalam
diri kita sendiri selalu menjadi penekanan para pembimbing pada waktu itu pada
saat-saat kita semua mengerjakan sketsa maupun melukis. Pada saat-saat
pembahasan karya, dia selalu membawa setumpuk karya yang disebar atau
dijejerkan satu persatu hampir memenuhi lantai ruangan studio ataupun ruangan
kos-nya (saya mengomentari: wah, jangan-jangan tumpukan kertas karya-karyamu
ini sudah kamu jadikan ‘kasur’ tempat tidurmu ya!), argumentasi-nya yang keras,
nyerocos tiada henti diselingi tawanya yang khas itu selalu kita ingat sebagai
salahsatu cirinya. Pada saat banyak orang, kalau dia tidak berkenan, dia
memilih untuk diam menjadi pendengar yang baik. Tetapi kalau sudah menyinggung
tentang sikap dan keyakinan, susah untuk menghentikan ‘kicau’-annya. Sepertinya
ada satu kekuatan di dalam dirinya yang harus dibuktikan bahwa tindakan melukis
itu sudah menjadi pilihan dan akan melekat pada dirinya di sepanjang masa.
Beberapa tahun yang lalu, tiba-tiba
ia nongol begitu saya di rumah saya di Yogyakarta, bercerita kalau selama ini
ia tetap melukis dan ‘bekerja’ sebagai anggota tim sukses pilkada di Indramayu.
Sebelum ke rumah saya, ia telah berkunjung ke Rumah Seni Cemeti dan beberapa
rekan pelukis di Yogyakarta. Ia juga telah mengunjungi rekan-rekan
seniman di Jakarta dan Bandung. Seperti seorang jagoan silat yang sedang ‘turun
gunung’ setelah melatih ilmu silat andalannya, ia mencoba mengukur kembali
sejauh mana jalan menuju senilukis sejati yang sudah ditempuhnya. Inti kesimpulan perjalanananya itu: ia semakin yakin. Menjadi seorang pelukis bagi Dartin Yudha sudah tidak bisa ditawar lagi.
Begitu saya tantang, kapan anda ber pameran tunggal, ia dengan tawanya yang
khas itu menjawab, tunggu tanggal mainnya! Wah, kayak seorang politikus saja!
Bikin janji-janji, apa benar nanti akan dipenuhi?
( 2 )
Apakah
yang disebut SENI LUKIS itu? Umumnya masyarakat mengatakan bahwa karya
senilukis adalah ekspresi visual, ungkapan kasad mata dari suatu ide, gagasan
dan pengalaman yang diciptakan oleh seorang pelukis dengan keahlian tertentu
yang spesifik. Apa yang kita
sebut sebagai “seni” (art)
dalam pengertian yang umum tidak
berbeda dengan “kria”(craft), di dalam persoalan bahan atau teknik, tetapi akan berbeda secara radikal dalam
tujuan atau maksud penciptaannya. Seperti halnya pada setiap karya kria,
sesuatu yang disebut “seni murni” (fine
art) adalah pemanfaatan dari bahan
atau materi seperti besi, batu, kayu, bambu,
tanah liat, pigmen warna, kain, kertas dsb., atau (dengan suatu perluasan konsep tentang “bahan” iu
sendiri) bunyi, cahaya, kata-kata,
gerak, atau bahan lain,
untuk kepentingan mengkonstruksikan suatu obyek yang diinginkan, yaitu suatu karya
seni, sebuah benda buah hasil kecerdasan manusia. suatu karya yang dibuat untuk tujuan terakhir menuju
keberhasilan efek kualitatif tertentu, yang memiliki nilai ekspresif.
Apa yang ingin diekspresikan oleh seni yang
selama ini dicari? Pada dasarnya setiap karya seni mengungkapkan, kurang lebih kemurnian,
kurang lebih kehalusan, bukannya perasaan dan emosi yang dimiliki si seniman,
tetapi perasaan dan emosi si seniman yang
diketahui; kesan dalam-nya
terhadap perasaan yang alami, gambaran-nya terhadap pengalaman-pengalaman
penting, secara fisik, emosi dan yang luar biasa. Pengetahuan seperti itu tidak begitu saja
dapat diekspresikan dalam suatu wacana yang umum. Alasan untuk sesuatu yang tak
terlukiskan ini bukanlah karena gagasan-gagasan yang akan diekspresikan itu
terlalu tinggi, terlalu spiritual, atau terlalu yang lain-lain lagi, tetapi
bahwa wujud dari perasaan dan wujud dari ekspresi yang tidak saling
bersambungan itu secara logika tidak selaras, sehingga setiap konsep yang pasti
dari perasaan dan emosi tidak bisa diproyeksikan ke dalam wujud yang logis
dalam bahasa harafiah. Pernyataan lisan, yang telah menjadi makna komunikasi
sehari-hari yang normal dan
dapat dipercaya diantara kita semua, hampir menjadi sia-sia untuk menyampaikan
pengetahuan tentang karakter yang tepat dan esensi pengalaman yang didapat
setiap manusia dari kehidupannya
masing-masing.
Penandaan-penandaan normal seperti “cinta”, “kasih-sayang” “kegembiraan”, “kesedihan”, “ketakutan”, “cita-cita’,
dsb, menceritakan kepada kita sedikit sekali
tentang pengalaman yang penting dibanding dengan kata-kata umum seperti
“benda”, “menjadi atau meng-ada”, dan “tempat” menceritakan kepada kita tentang
dunia persepsi kita
yang lebih luas.
Acuan yang lebih tepat yang berkaitan dengan perasaan pada umumnya dibuat
dengan menyebutkan keadaan atau suasana lingkungan yang memberikab sugesti,
seperti “suasana hati suatu malam di musim hujan”, atau “suatu perasaan liburan
bersama sang pacar”. Permasalahan logika yang terlibat di sini adalah tidak ada
satu orang luarpun yang bisa memasuki; cukup kita tinggal sementara orang lain
mengatakan “wujud yang signifikan”, dan
yang lain “sesuatu yang ekspresif”, “nilai plastis” di dalam seni visual atau
“makna sekunder” di dalam puisi, “disain kreatif” atau “penafsiran” atau apa
yang anda inginkan, adalah suatu tenaga dari efek kualitatif tertentu untuk
mengekspresikan wujud-wujud yang besar dan seluk beluk keruwetan langka dari
kehidupan perasaan.
Sebagian dari ini nampaknya mampu menemukan
ekspresi langsung dalam wujud yang dapat didengar dan dilihat. Albert Barnes
memberikan sugesti bahwa orientasi mental kita di dalam ruang, yang memberikan
kebebasan dan kepastian pada tenaga-tenaga persepsi kita dan merupakan poros
yang tak disadari dari kehidupan mental kita, adalah apa yang dimunculkan secara berarti dan murni pada
disain geometris murni. Jean D'Udine, di dalam buku kecil nya yang menjelaskan
hubungan seni dengan gestur, mengingatkan pada ekspresi langsung perasaan-perasaan penting dari semua wujud
berirama, apakah itu yang bersifat musikal ataupun visual. Ini adalah
unsur-unsur seni ekspresif yang sederhana, seperti halnya nama-nama dan
pernyataan harafiah adalah unsur-unsur bahasa ekspresif yang sederhana.
Begitu cepatnya konsepsi manusia menemukan
suatu perlambang atau simbol yang cukup, tumbuh seperti dongeng Jack dengan
kacang buncisnya, dan membesar menjangkau puncak ketinggian dari apa yang nampak
sebagai suatu wujud ekspresi yang cukup. Semakin baik simbolisme, semakin lebih
cepat tumbuh, untuk memelihara pikiran-pikiran yang harus dilayani dan ditumbuh
kembangkan. Hal itu dengan jelas dipertunjukkan oleh bahasa. Seorang anak
dengan sepuluh kata-kata sebagai penghargaannya memiliki pasti lebih dari
sepuluh konsep pada perintah nya, sebab setiap kata akan mendorong dengan
segera ke generalisasi, perpindahan makna, memberi sugesti pada gagasan
terkait, membuka kemungkinan variasi dan keteduhan halus yang sulit dipisahkan
yang diciptakan sewaktu digunakan. Hal yang sama terjadi pada ekspresi
artistik. Sama halnya dengan bahasa yang berkembang secara halus, di dalam
bentuk-bentuk sintaksis dan idiom seperti halnya kosa kata, sehingga kekuatan
artikulasi melalui kepekaan bentuk tumbuh sesuai dengan kebutuhan pemahaman
pemikiran.
Kebanyakan orang-orang berhubungan dengan kata
“abstraksi” hanya sebagai kata-kata teknis yang memberikan pengertian proses
penyederhanan yang menimbulkan sesedikit mungkin gambaran, bahkan kalau bisa
tidak ada. Tetapi kata-kata seperti itu selalu dijadikan sebagai suatu tempat
penyimpanan abstraksi yang dibuat sejak dulu kala, yang sekarang ini digunakan
sebagai salah satu kata umum, terutama oleh para intelektual spesialis yang
memanipulasikan kata tersebut tanpa perasaan sama sekali terpana oleh setiap
pemahaman baru yang mereka sampaikan. Pemahaman terhadap makna-makna itu,
sesungguhnya, tidak baru. Ketika hal itu baru, kata-kata ini tidaklah digunakan
untuk konsep itu; omongan orang-orang besar digunakan untuk mengekspresikan
pengertian awal yang mendalam secara ilmiah. Sebuah lagu, ketika pertama kali
dipahami sebagai sebuah gagasan ilmiah di bandingkan sebagai suatu keberadaan
yang menentukan, yang mengalir dalam suatu arus satu-dimensional dari keberadaan
Tuhan Yang Maha Pencipta.. Ruang adalah kekacauan dan sebuah jurang ngarai yang
dalam sekali, abstraksi dari sisa keberadaan di dalam lambang-lambang mistik,
sebelum abstraksi ini tumbuh cukup umum dikenal sebagai suatu nama dan
didefinisikan oleh semua dalil ilmu ukur geometris.
Bagaimana, dan oleh siapa, abstraksi itu
mula-mula dilakukan?
Abstraksi ini dilekukan oleh orang-orang
berpikiran ‘dalam’ dan ‘besar’ dari setiap zaman, oleh para pengguna bahasa
yang kuat atau simbolisme lain, mereka yang dapat memaksa kita untuk melihat
lebih dari makna yang diterima umum dalam simbol-simbol yang telah akrab
dikenali. Abstraksi bahasa, yang telah menguasi kebanyakan dari pemikiran
normal kita, terbangun dari suatu fenomena fundamental yang kokoh, tersebar
luas, tetapi kurang dikenali seperti istilah metaphor.
Tentu saja, semua perumusan konseptual
melibatkan beberapa abstraksi; bahkan ekspresi biasa seperti dalam kalimat ini:
“Hari kemarin, saya berada di Denpasar” melibatkan suatu pilihan beberapa aspek situasi yang berkaitan,
dan kaitan ini sendiri sudah disebutkan. Jutaan orang lain telah berada di Denpasar
kemarin hari juga; namun keberadaan saya berbeda dengan mereka dibedakan dari
aktivitas, perasaan, maksud dan tujuan, secara praktis segalanya kecuali fakta yang sangat diabstraksi seperti
yang telah saya sebutkan. Bahasa mengabstraksi kenyataan atas pilihan bermacam
hal dan keadaan yang memunculkan
nama-nama, seperti kata-kata “hari
kemarin”, ”Denpasar” dan “berada” seperti halnya orang-orang dan obyek-obyek
fisik individual. Tanpa kita sadari pengenalan atas konsep-konsep abstraksi itu
telah diwadahi dalam kata-kata yang kita tidak kita sendiri tidak bisa
mengatakannya: setiap pengalaman seharusnya memiliki suatu nama yang tepat yang
memiliki makna yang tak terdefinisikan, sejenis skema memori subyektif.
SENI, seperti halnya bahasa, adalah abstraksi
dari pengalaman aspek-aspek tertentu untuk kontemplasi kita. Tetapi abstraksi
seperti itu bukanlah konsep-konsep yang mempunyai nama-nama. Pembicaraan yang
tidak berkesinambungan dapat menentukan konsep-konsep yang lebih baik dan lebih
tepat. Ekspresi artistik mengabstraksi aspek-aspek kehidupan perasaan yang
tidak mepunyai nama-nama, yang harus diperkenalkan untuk merasakan dan mengangkat
intuisi dari pada lebih terikat pada kata, catatan kesadaran yang diperhatikan.
Bentuk dan warna, nada - tegangan dan irama,
kontras dan kelembutan, istirahat dan gerakan, kesemuanya adalah unsur-unsur
yang menghasilkan wujud simbolis yang dapat menyampaikan gagasan-gagasan untuk
kenyataan-kenyataan seperti yang tak dikenal itu. Ketika kita mengatakan bahwa
suatu karya mempunyai suatu perasaan terbatas tentang sesuatu, kita tidak
bermaksud bahwa karya itu memberikan tanda bagi perasaan itu, seperti sebuah
tangisan memberikan tanda adanya gangguan emosional bagi yang menangis, maupun
bahwa karya itu merangsang kita untuk merasakan dalam suatu cara tertentu. Apa
yang kita maksud adalah bahwa karya itu menyajikan suatu suatu perasaan untuk
perenungan kita.
Bagaimanapun, sebuah tiruan, meskipun secara
visual mematuhi dengan apa yang dilihat, tidak pernah akan menjadi kopi atau
salinan dalam pengertian umum. Selalu ada bias perubahan, apa yang dicatat
adalah apa yang dilihat dan dirasa penting; jika ia sangat asyik dengan model
nya, yang disederhanakan atau bahkan versi yang diproyeksikan dari model itu
adalah persis seperti apa yang ia lihat, dan semuanya yang ia lihat. Seni
primitif, yang tidak dikacaukan oleh pelbagai teori, cenderung untuk lebih murni
disederhanakan dan lebih ekspresif dibanding karya-karya yang lebih canggih;
namun para penulis paling awal dari setiap cabang seni dengan naif diyakinkan
bahwa apa yang kita sebut penciptaan wujud adalah sebuah proses peniruan yang
patuh dan sangat hati-hati.
Peniruan dari suatu obyek dengan kesengajaan
melakukan suatu perbedaan dari ‘keseluruhan’ yang penting, perbedaan yang
ditafsirkan- adalah apa yang kita sebut sebagai perlakuan (treatment) terhadap obyek, dan semua perlakuan melayani
kebutuhan dari penciptaan karya abstraksi yang memuaskan pancaindera kita dan
mengandung nilai artistik yang tinggi.
Model untuk lukisan, patung, atau syair kepahlawanan yang memberi tema
pada karya itu, tetapi bukan maknanya; perlakuan dari tema adalah artikulasi
atau pengucapan suatu wujud yang didatangkan dari miliknya sendiri.
Semua teknik dikembangkan demi kepentingan
untuk perlakuan itu; dan karena perlakuan hanyalah cara(mode) peniruan, dan seorang seniman yang aktif dan betul-betul
diserap akan sangat tidak menyadari cara-cara yang dia kembangkan, hampir semua
teknisi yang naif membenarkan bahwa alat yang mereka pergunakan selama ini
adalah semata-mata berawal dari cara peniruan. Dengan demikian garis kehidupan
teknik yang panjang itu adalah hasil peniruan, dan asal muasalnya adalah
formalisasi. Teknik adalah kekuatan untuk memproduksi suatu versi model,
konkrit sebagaimana keberadaannya yang nyata- suatu keberadaan yang dapat
diamati, suatu perwujudan pelbagai benda-benda di dunia. Tujuan nya selalu
menghasilkan suatu efek (effect)
emosional yang memuaskan panca indera (sensuous),
yang dibawa kedalam persepsi.
Didalam pencapaian efek inilah terletak
fungsi abstraksi seni. Efek dicari karena mampu
menyampaikan sesuatu yang ada di dalamnya ke perasaan manusia, saya pikir,
itulah tujuan semua seni. Karena itulah teknik adalah ketrampilan untuk
mendapatkan efek-efek, dan di setiap seni kita mengembangkan makna-makna
tradisional dari “peniruan” untuk meningkatkan efek-efek tertentu yang seniman
amati pada model itu dan menyampaikan ke mereka yang dapat merasakan melalui
seni. Makna-makna tradisional seperti
itulah yang kita sebut sebagai “konvensi”. Konvensi ini bukanlah “hukum” atau
kaidah kaku, karena itu tidak ada alasan di dunia ini untuk mengikutinya
kecuali sang seniman yang dapat menggunakan hal itu untuk kebutuhan mewujudkan
tujuannya. Ketika kebutuhan atau kegunaannya sudah tidak diinginkan lagi,
konvensi itu dibuang jauh. Karena itulah mengapa konvensi berubah.
Konvensi-konvensi peniruan yang jelas nyata
adalah semacam perlengkapan seperti warna lokal, penggelapan untuk
bayang-bayang, pepohonan yang meliuk serta lurus gemulainya rambut untuk
menandai desirnya angin, dan sikap tidak stabil untuk memberikan sugesti gerak
tubuh. Hal terakhir ini dapat digunakan untuk mematung, walaupun patung sangat
sensitip terhadap praktek-praktek peniruan seperti halnya mengecat patung atau
bahkan pencampuran pelbagai material yang berbeda untuk efek-efek realistis.
Hampir setiap teknik yang terdahulu merasakan
yang pertama kali sebagai penemuan peniruan yang lebih baik, dan baru kemudian
dikenali sebagai suatu bentuk baru, suatu konvensi stilistis. Dan semakin
banyak gaya presentasi yang dikondisikan oleh konsepsi-konsepsi para seniman,
dengan efek-efek yang mereka inginkan lebih dari kandungan ilmiah dari setiap
gaya, maka semakin siap gaya itu dapat diterima sebagai suatu “kebenaran” dari
sebuah proses imajinasi.
Jenis perlakuan ekstrim yang dapat dirancang ini lebih
tepat disebut sebagai transformasi
(transformation) dari pada sebagai peniruan, perlakuan yang melakukan
perubahan pada suatu penampilan yang diinginkan tanpa representasi nyata
tentangnya, dengan menghasilkan suatu kesan perasaan yang setara bukannya semata-mata sesuatu yang harafiah, dalam
kaitan sesuatu yang terbatas, material sah yang tidak bisa dengan naif mengkopi
properti model yang diinginkan itu.
Untuk mengubah efek suatu bunyi tanpa peniruan nyata
darinya; untuk menyampaikan suatu perasaan tentang gerakan dengan garis-garis
dinamis, tanpa menggambarkan sikap atau peristiwa yang mengingatkannya; untuk
menyampaikan suatu situasi dramatis dengan kesunyian-kesunyian yang tepat pada
waktunya daripada dengan pernyataan yang mengasyikkan; perlakuan semacam itu membutuhkan suatu transformasi ide yang diperlengkapi oleh
model (yang menjadi model bisa saja suatu benda, suatu peristiwa, atau suatu
karakter), sebagai material plastis dimana karya itu dibuat. Untuk
mendapatkan efek ruang melalui suatu medium bunyi, atau suatu perasaan dari
sinar murni yang terang mempesonakan penuh kemegahan- melalui warna atau
bentuk, tanpa memakai seberkas cahayapun- itulah yang saya maksud dengan proses transformasi penampilan model ke
dalam struktur yang berhubungan dengan perasaan ataupun sejenisnya.
Sebagai contoh dapat ditemukan dalam semua
bidang seni. Contoh diatas yang baru saya sebutkan – cara penyampaian efek
cahaya melalui suatu medium yang tidak bisa secara langsung mengkopi cahaya –
saya kutip dari Ching Hao, seorang teoritikus
Cina abad kesepuluh: "Penguasaan tinta dapat mempertinggi atau menurunkan
nada nya sesuka hati, untuk mengekspresikan kedalaman atau kedangkalan dari
benda-benda (things), menciptakan apa
yang nampak seperti suatu kilau alami, yang tidak diperoleh dari karya sapuan
garis dan ingat bahwa terang dan gelap itu sendiri mengekspresikan kedalaman
dan kedangkalan dari bednda-benda (things)”
Dan sebelumnya, tentang “Harmoni”,
ia mengatakan: “Harmoni, tanpa kontur yang dapat dilihat, memberikan sugesti
akan wujud; mengabaikan tidak ada apa-apa, namun melepaskan diri dari kekasaran.
Untuk menyampaikan wujud dengan alat bantu selain kontur atau garis batas,
dalam kaitan dengan penggunaan tinta, adalah sebuah pencapaian efek halus yang
saya sebut sebagai “transformasi” (transformation).
( 3 )
Dalam pameran tunggalnya kali ini perupa
Dartin Yudha menampilkan karya-karya mutakhirnya dengan pelbagai macam teknik
multi media yang hampir secara keseluruhan mengeksploitasi pengalaman batinnya
dalam ‘bersetubuh’ dengan obyek atau subject-matter
pelbagai jenis mata uang yang telah diakrabinya semenjak muda belia. Mata uang
bukan saja sebagai kepanjangan tangannya untuk berkomunikasi dengan orang lain,
masyarakat luas, tetapi juga dimaknainya sebagai ‘catatan harian’ untuk
menyimak peristiwa, kenangan, petualangan ke masa lalu dan banyak hal lagi yang
secara pribadi sama kuat dan nikmatnya seperti halnya ia memainkan warna, garis
dan elemen-elemen estetis lainnya di atas permukaan kanvas atau kertas sebagai
upaya menciptakan sebuah karya seni.
Misi penciptaan seni yang bermuara dari ‘dalam’ diri seorang seniman adalah
bagaimana sang seniman itu memahami ‘kehidupan rasa’ nya yang paling esensial.
Proses pemahaman ini tidaklah sederhana, umumnya membutuhkan suatu tindakan
abstraksi. Tindakan penyederhanaan yang diikuti dengan perenungan dan sekaligus
upaya pemaknaan dalam penalaran ataupun ‘penangkapan’ esensi secara subyektip.
Tetapi semua pemahaman memerlukan abstraksi. Abstraksi yang dalam wacana
harafiah terkadang memberikan pemahaman sia-sia untuk pokok gagasan ini, mereka
mengaburkan dan memalsukan dari pada mengkomunikasikan gagasan kita tentang
vitalitas dan perasaan dalam. Namun tidak ada pemahaman tanpa simbolisasi, dan
tidak ada simbolisasi tanpa abstraksi. Segala sesuatu tentang kenyataan, yang akan diekspresikan dan disampaikan, harus
diabstraksi dari kenyataan itu. Tidak ada alasan dalam upaya untuk menyampaikan kenyataan yang murni dan
sederhana. Bahkan pengalaman itu sendiri tidak bisa melakukan hal itu.
Bagi Dartin Yudha, proses abstraksi yang dilakukan terhadap obyek-obyeknya
penuh dengan pendalaman dan kecerdasan. Olah pikir dan olah rasanya dituangkan
dalam suatu simfoni dengan pelbagai ragam lagu yang bergetar dari setiap karya
yang tersaji Bentuk wujud pelbagai mata uang kertas yang segi empat ataupun mata
uang logam yang lingkaran memancing impresinya dalam abstraksi geometris murni,
suatu cerminan yang mungkin tidak disadari sebagai ungkapan irama kehidupan
batinnya. Sementara penyederhanan/stilisasi bentuk-bentuk figur perempuan
secara keseluruhan ataupun pelbagai wajah sebagai model telah sampai pada
esensi raga dan garis yang memberikan perlambang kekuatan, kelembutan dan
terkadang sensual. Perlakuan terhadap obyek-obyek itu telah mengembalikan
dirinya untuk menciptakan seni ekspresif yang sederahana, sekaligus memaknai
perlambang atau simbol pikiran, rasa dan inti kehidupan itu sendiri.
Produksi struktur ekspresif seperti itu yang menyajikan suatu perasaan
untuk perenungan kita memerlukan lebih banyak konsepsi yang bersifat ke-‘benda’-an
(tangible) dibanding gagasan yang
masih tidak jelas, untuk memandu apa yang dimaksud si seniman itu. Tidak ada
sesuatu yang begitu sulit untuk dipahami seperti konsepsi yang tidak memiliki
simbol-simbol. Terasa berdenyut dan lenyap menghilang seperti bintang-bintang
yang meredup, dan mengilhami dibanding sebagai ekspresi yang sudah pasti.
Dengan demikian jangkar berlabuh yang biasanya untuk intuisi-intuisi seperti
itu adalah suatu obyek di mana seniman melihat berbagai kemungkinan bagi wujud
yang dapat dia kembangkan dan diciptakan dengan dorongan/gerakan hati meniru wujud-wujud alami yang mereka
temukan bersifat ekspresif
Untuk mendapatkan efek ruang melalui suatu
medium bunyi, atau suatu perasaan dari sinar murni yang terang mempesonakan
penuh kemegahan- melalui warna atau bentuk, tanpa memakai seberkas cahayapun-
itulah yang saya maksud dengan proses
transformasi penampilan model ke dalam struktur yang berhubungan dengan
perasaan ataupun sejenisnya.
Karya-karya Dartin Yudha telah mengantar dirinya memasuki alam dimensi transformasi!
Langkah berikutnya adalah menghayati laku
hidup dalam arti proses perenungan tentang hakekat hidup itu sendiri serta
perluasan wacana global yang akan memperkuat kesadaran dirinya sebagai seniman
sejati Indonesia yang tiada berhenti untuk melakukan olah rasa, olah pikir/karsa dan tentu saja
olah cipta.
Yogyakarta, 28 April 2014
*)
Pelukis Abstrak, sekarang tinggal menetap di Yogyakarta